Ambiguitas Sertifikasi Wartawan dan Verifikasi Media

author photo
Berdasarkan fakta tersebut, patutlah kita berasumsi bahwa pelaksanaan sertifikasi kompetensi wartawan, yang oleh banyak pihak dianggap sebagai kebijakan “memandai-mandai”, meminjam istilah orang Sumatera, selama ini banyak menyimpan masalah dan penyimpangan. Seorang rekan wartawan senior Metro-TV beberapa waktu lalu menyatakan enggan mengikuti Uji Kompetensi Wartawan (UKW) karena menurutnya, dia adalah sarjana ilmu komunikasi dari perguruan tinggi ternama di Surabaya, plus sudah mengikuti magang yang ketat, plus (lagi) pengalaman sebagai wartawan di berbagai posisi yang cukup lama. Sementara, kata dia lagi, penguji UKW itu adalah orang-orang yang tidak paham jurnalistik, atau jikapun penguji adalah orang media, ilmu mereka sudah out-of-date alias kedaluwarsa, tidak sesuai dengan kemajuan zaman.

Dari informasi yang terhimpun, Romlan diduga hanyalah tamatan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Dengan tingkat pendidikan yang demikian itu, sangat dapat diprediksi kemampuan jurnalisme yang bersangkutan. Anehnya, PWI dan Dewan Pers tidak hanya memberikan kelulusan sebagai wartawan utama, tetapi juga mempercayakan yang bersangkutan menjadi salah satu penguji UKW. Keadaan itu menandakan bahwa sangat patut diduga dalam proses UKW itu ditumpangi oleh kepentingan pribadi para oknum terkait, seperti oknum di institusi PWI, oknum Dewan Pers dan yang bersangkutan sendiri.
Dari situs media Kabarbangka.com, kita juga dapat melihat bahwa media ini sudah diverifikasi dan mendapatkan Sertifikat Dewan Pers. Selama ini, publik memahami sertifikat Dewan Pers yang diberikan kepada sebuah institusi media massa sebagai stempel halal bagi media tersebut melakukan kerja-kerja jurnalisme. Jadi, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa sajian media berstempel halal dari Dewan Pers merupakan makanan sehat dan halal bagi masyarakat.

Dengan pemahaman seperti itu, publik dapat menilai kondisi media Kabarbangka.com yang dihalalkan oleh Dewan Pers, baik secara fisik tampilan atau desain media yang amat sederhana maupun dari isi pemberitaannya. Mempublikasikan berita bohong dan mencatut nama lembaga negara di tingkat pusat memerlukan keberanian liar yang luar biasa bagi seorang jurnalis. Mungkin sekali, keberanian semacam ini yang dinilai Dewan Pers sebagai sesuatu yang layak dijadikan indikator kelulusan sebuah media massa untuk diberikan sertifikat halal.

Benar, semua orang bisa salah, bisa khilaf, bisa alpa. Setinggi apapun tingkat pengetahuan, tingkat pendidikan, tingkat keprofesionalan dan kehandalan seseorang; pun setinggi apapun tingkat moralitas seseorang, ia dapat saja sewaktu-waktu tergelincir dalam kesalahan. Demikian juga dalam persoalan jurnalisme. Wartawan legendaris bisa salah, seperti juga wartawan pemula. Media sekelas Jawa Pos juga bisa tersandung masalah pemberitaan bohong seperti pada kasus publikasi terkait berita hoax ketidak-netralan TNI tempohari.
intro123

Berita Terkait

Komentar Anda