Berdasarkan fakta-fakta tersebut dapat disimpulkan bahwa
kekeliruan dalam pemberitaan dapat saja terjadi oleh siapapun, kapanpun, di
media manapun. Sepanjang khilaf dan alpa masih menjadi bagian manusiawi dari
manusia, maka kesalahan publikasi media massa, apalagi media sosial, sangat
mungkin terjadi di mana-mana. Terlebih lagi bicara informasi, yang tiada satu
informasipun di dunia ini yang bebas nilai, bebas kepentingan, imparsial
seratus persen. Informasi juga, selengkap apapun, sedetil apapun, seprofesional
apapun, secanggih apapun pengerjaannya, pasti tetap mengandung “error” atau
kesalahan. Hasil penelitian ilmiah bidang ilmu pasti saja tidak bebas dari
faktor margin error.
Level wartawan utama tidak menjamin pemiliknya mampu bekerja
profesional, handal, dan kredibel sesuai predikat sertifikasi yang
disandangnya. Stempel halal media massa yang diberikan Dewan Pers bukan jaminan
bahwa media tersebut dapat berfungsi sebagaimana mestinya sebuah institusi media
harapan publik. Sertifikat UKW dan tanda verifikasi media hanya kertas mati,
yang tidak mutlak dijadikan referensi untuk menentukan keprofesionalan dan
kredibilitas seorang jurnalis dan sebuah media.
Kenyataan itu bukan berarti perlu dibiarkan, dibiasakan, dan
dinihilkan begitu saja. Proses perbaikan harus tetap menjadi perhatian dan
dilakukan sepanjang hayat. Dalam setiap tahapan jurnalistik, semestinya
peningkatan kualitas keakuratan, kefaktual-an dan keterkinian informasi menjadi
mutlak. Untuk itulah, sifat taat azas wajib menjadi ruh yang berdiam dan tumbuh
di dalam setiap orang, terutama setiap pewarta dan jurnalis. Prinsip 5W+1H
misalnya, harus menjadi landasan suci yang menjadi rujukan setiap
informasi/berita yang akan disampaikan oleh setiap pembawa berita, bahkan oleh
semua orang. Prinsip check and recheck menjadi sangat penting agar keakuratan
dan ke-valid-an setiap informasi dapat ditingkatkan. Demikian juga dasar
filosofi penyebaran informasi 3B, yakni Benar, Baik, dan Bermanfaat, harus menjadi
nafas kehidupan bagi semua orang, terutama yang berkarya di bidang jurnalisme.
Kembali ke kasus Romlan dengan Kabarbangka-nya, kiranya puncak
gunung es itu menjadi catatan dan evaluasi bagi para pemangku kepentingan
bidang pers, terutama Dewan Pers yang saat ini dipimpin oleh seorang mantan
Menteri Pendidikan. Kebijakan UKW yang sudah dijalankan hampir 10 tahun
terakhir ini, ditambah verifikasi media, oleh Dewan Pers, telah digugat ke PN
Jakarta Pusat oleh masyarakat pers beberapa waktu lalu. Hasilnya, gugatan
ditolak. Sesungguhnya salah satu esensi gugatan itu adalah bahwa kebijakan
Dewan Pers itu telah mendegradasi hasil pendidikan formal kesarjanaan dan
pengalaman profesionalitas ribuan wartawan selama ini. Demikian juga dengan
verifikasi media yang telah melahirkan diskriminasi massif, yang salah satunya
adalah kekeliruan pemahaman tentang konsep hakiki tentang media massa sebagai
alat penyampai pesan antara komunikator (pengirim pesan) dan komunikan
(penerima pesan).
Kekeliruan kebijakan Dewan Pers itu menjadi terstruktur dan
sistemik ketika para pemangku kepentingan di daerah-daerah mengaminkannya.
Perlakuan diskriminatif terhadap wartawan yang adalah rakyatnya si pemda
sendiri, dan media massa yang ada di daerahnya, menjadi pemandangan sehari-hari
di hampir setiap sudut negeri ini. Di kalangan aparat negara seperti Polri dan
TNI, kondisinya ibarat istilah para milenials 11-12 dengan institusi pemda.
Bahkan, TNI mewajibkan wartawan yang berminat untuk mengikuti lomba menulis
tentang TMMD harus memiliki sertifikat UKW dan medianya terverifikasi.
Di dunia bisnis, lebih parah lagi. Nasib wartawan ibarat tinggal
di Afrika Selatan jaman apartheid, ada kulit putih (ber-UKW) dan kulit hitam
(non-UKW). Jika Anda kulit hitam, jangan sekali-kali berlaku kritis terhadap
para pengusaha. Jika ditemukan pemberitaan faktual namun kritis terhadap sebuah
perusahaan di medianya, jeruji besi menjadi kamar kematian Anda. Dewan Pers
akan dengan mudah tersenyum berlepas tangan hanya dengan alibi “Yang
bersangkutan belum UKW dan atau medianya tidak terverifikasi Dewan Pers,
silahkan masukan ke penjara”.
Lebih dari semua uraian di atas, yang paling penting untuk
dievaluasi oleh Pengurus Dewan Pers yang baru di bawah M. Nuh sebagai ketuanya,
adalah bahwa kebijakan UKW dan verifikasi media itu bertentangan dengan
semangat yang dikandung oleh Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.
Dari keseluruhan 21 pasal yang ada di Undang-Undang Pers tersebut, tidak
ditemukan satu pasalpun yang secara tegas alias tidak ambigu dapat dijadikan
payung hukum pelaksanaan UKW dan verifikasi media. Justru yang terjadi adalah
bahwa penerapan kebijakan UKW dan verifikasi media merupakan pembangkangan
terhadap pasal 2, 3, 4, 6, 8, 9, dan pasal 15 UU Pers.
Langkah kongkrit yang perlu diambil sebagai respon atas kasus
Romlan dan Kabarbangka.com, dikaitkan dengan kebijakan UKW dan verifikasi media
adalah melakukan moratorium atas kebijakan tersebut, diikuti dengan audit
menyeluruh terhadap UKW dan verifikasi media selama ini. Audit itu tidak saja
meliputi keuangan negara yang digunakan pengurus Dewan Pers, namun juga
terhadap SDM (wartawan) dan media yang telah tersertifikasi. Auditing SDM itu
penting untuk mengukur tingkat keberhasilan program UKW dan sertifikasi yang
sudah dicapai, apakah berbanding lurus atau tidak dengan pengeluaran anggaran
negara yang sudah digunakan selama ini.
Penulis :
Wilson Lalengke, adalah Ketua Umum PPWI, Alumni PPRA-48 Lemhannas RI, Lulusan
Pascasarjana bidang Global Ethics dari Birmingham University Inggris dan
Applied Ethics dari konsorsium Utrecht University Belanda dengan Linkoping
University Swedia, Sekjen Kappija-21 (Keluarga Alumni Program Persahabatan
Indonesia Jepang Abad 21)