Jaksa Agung ST Burhanuddin |
JAKARTA | Jaksa Agung ST Burhanuddin menegaskan, salah satu kewenangan jaksa dalam melaksanakan diskresi penuntutan (prosecutorial discretion), dilakukan dengan mempertimbangkan hukum yang hidup dan berkembang di masyarakat, kearifan lokal, serta nilai-nilai moral, etika, dan keadilan dalam masyarakat.
Penegasan itu diungkapkan Jaksa Agung melalui Kapuspenkum Kejagung RI Dr Ketut Sumedana dalam pers rilisnya yang diterima redaksi, Minggu (26/2/2023).
Pertimbangan hukum dimaksud menurut Jaksa Agung, memiliki arti penting dalam rangka mengakomodir perkembangan kebutuhan hukum dan rasa keadilan di masyarakat, serta menuntut adanya perubahan mindset, perilaku, dan kepastian hukum yang diterima oleh masyarakat.
"Oleh karena itu, sebagai seorang jaksa harus mampu menggali nilai-nilai hukum dalam masyarakat sehingga penegakan hukum mampu beradaptasi dengan kebutuhan hukum masyarakat, sebab jaksa bukan cerobong Undang Undang yang bersifat kaku, baku, dan membeku," tegasnya.
Untuk kesekian kalinya orang pertama di Lejavung RI itu mengimbau para jaksa agar menggunakan hati nurani di setiap pengambilan keputusan dalam proses penegakan hukum, karena hati nurani tidak ada dalam buku. Para insan Adhyaksa harus menggunakan kepekaan sosial.
Hal tersebut mendasari bahwa keadilan formalistik yang dibelenggu aturan bersifat kaku demi mengejar kepastian hukum tidak lagi dapat dipertahankan. Namun di era saat ini, sudah berkembang dan beradaptasi dengan kebutuhan rasa keadilan dalam masyarakat yang disebut dengan keadilan substantif.
Ketika Jaksa Penuntut Umum harus menyatakan sikap banding atau tidak, wajib mempertimbangkan dinamika hukum dan keadilan yang berkembang di masyarakat selama ini dengan menggunakan standar dan syarat-syarat tertentu yang sangat ketat. Menarik dikaji dalam kasus yang sangat prestisius dan viral belakangan ini
Yakni perkara terdakwa Ferdy Sambo dan kawan-kawan (dkk) berdasarkan survei menunjukkan 92% penduduk Indonesia yang sudah berusia 17 tahun keatas mengetahui dan mengikuti perkembangan kasus tersebut.
Bahkan salah satu stasiun televisi nasional menyatakan 50 juta views pemirsa setiap harinya menyaksikan proses persidangannya, sehingga tidak sedikit masyarakat menyampaikan ekspresinya seperti kecewa, puas, atau hanya sekedar menjadi pengikut, dan juga tidak sedikit diantara mereka membentuk fanbase.
Fenomena tersebut merupakan representasi dari keadilan masyarakat yang sesaat dan tentu perlu dikaji seberapa jauh dan banyak suara tersebut menjadi representasi keadilan substantif (masih menjadi perdebatan), terkadang tidak mewakili kata hati seluruhnya.
RJ
Sebagai salah satu contoh yaitu penerapan Restorative Justice (RJ) yang digali dari kearifan lokal masyarakat membangun nilai-nilai keadilan berdasarkan standar cukup ketat misalnya pelaku tindak pidana bukan residivis, perbuatan tidak berdampak luas dan adanya pemberiaan maaf dari korban (keluarga korban), dan sebagainya.
Tentu tidak ada tindak pidana yang identik walaupun kategori perbuatan dan pasal yang didakwakan sama. Sebab pasti memiliki perbedaan motif, motivasi, modus operandi, serta dampaknya, sehingga kita tidak bisa memberikan kriteria, batasan, serta syarat-syarat atas keadilan yang berkembang dalam masyarakat.
Semua itu sangat tergantung dari respon dan reaksi masyarakat secara luas dan masif, serta berbagai platform media juga sangat berperan dalam menggiring atau membentuk opini masyarakat sehingga rasa keadilan itu terbentuk mulai dari opini, pendapat dan akhirnya menjadi sebuah aspirasi yang berkembang begitu cepat dan masif.
Sedangkan kejaksaan sebagai lembaga pemerintahan yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yang melaksanakan kekuasaan Negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan Undang Undang. Dalam menjalankan fungsinya yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, Kejaksaan melaksanakannya secara merdeka.
Pelaksanaan kekuasaan Negara di bidang penuntutan, kejaksaan berwenang untuk dapat menentukan suatu perkara dilimpahkan ke pengadilan dan memiliki arti penting dalam menyeimbangkan antara aturan yang berlaku (rechtmatigheid) serta interpretasi yang bertumpu pada tujuan atau asas kemanfaatan (doelmatigheid) dalam proses peradilan pidana.
Hal ini menunjukkan adanya perubahan paradigma penegakan hukum dari formalistik ke keadilan hukum substantif, sehingga kejaksaan mengeluarkan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia (Perja RI) Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Terlebih lagi diperkuat dengan lahirnya UU Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan RI sebagaimana diatur dalam Pasal 30C huruf b dan c yang pada pokoknya mengatur turut serta dan aktif dalam penanganan perkara pidana yang melibatkan saksi dan korban, serta proses rehabilitasi, restitusi, dan kompensasinya.
Kebutuhan Hukum
Pada akhirnya jaksa sebagai dominus litis suatu perkara harus mampu membawa arah penegakan hukum khususnya tindak pidana mulai dari hulu sampai hilir (yakni mulai dari penyelidikan, penyidikan, pra penuntutan, penuntutan, proses pemeriksaan di persidangan, hingga proses eksekusi) guna mencapai arah penegakan hukum yang dapat beradaptasi dengan kebutuhan hukum masyarakat.
Arah penegakan hukum yang mengakomodir kepentingan masyarakat, dan arah penegakan hukum sebagai solusi berbagai persoalan hukum di masyarakat.
“Sehingga jaksa yang modern di masa yang akan datang bukan saja sebagai Jaksa humanis dari segi penegakan hukum, tetapi dapat menjadi bagian dari jawaban/solusi persoalan-persoalan hukum di masyarakat,” tegas Jaksa Agung Burhanuddin. (Rb/ Red)