“Kecam mengecam bukanlah solusi
bijak untuk menyelesaikan suatu persoalan. Setiap orang dari pihak manapun
harusnya mampu melihat setiap persoalan secara holistis, atau memandang setiap
bagian peristiwa tersebut dalam suatu kesatuan secara menyeluruh”, Siaran pers
yang disampaikan Kapendam XVII/Cen pada Jum’at 07 Juni 2019.
Hari pertama kejadian kerusuhan
di Fayit, saat Pangdam XVII/Cen Mayjen TNI Yosuha Pandit Sembiring
menerima laporan atas peristiwa tersebut langsung mengambil langkah cepat
dengan mengundang seluruh komponen terkait antara lain Polda Papua, Komnas HAM
RI perwakilan Papaua/Papua Barat, Pemda Asmat melalui Danrem 174/ATW untuk
segera melakukan investigasi langsung ke TKP agar dapat mengungkap peristiwa
yang sebenarnya yang terjadi di Fayit Asmat.
Investigasi sudah dilaksanakan
dalam keadaan tertib aman dan lancar, dan yang paling penting bahwa
invesitigasi tersebut dilaksanakan secara terbuka dan menyeluruh. Hadir dalam
kegiatan investigasi tersebut antara lain Bupati Asmat Elissa Kambu, Danrem
174/ATW Brigjen TNI Agus Abdurrauf selaku ketua Tim Investigasi, Ketua Komnas
Ham RI perwakilan Papua/Papua Barat Frits Ramday, unsur Polda Papua, Pomdam
XVII/Cen, Kumdam XVII/Cen, Kesdam XVII/Cen, Inspektorat Kodam XVII/Cen dan
Pendam XVII/ Cen
Mekanisme pelaksanaan
investigasi yang dilaksanakan antara lain:
a. Meninjau dan mengecek secara langsung
dampak kerusakan;
b. mewawancarai saksi-saksi diantaranya
korban pengrusakan dan penjarahan harta benda, pelaku kerusuhan dan oknum
anggota TNI pelaku penembakan;
c. Memeriksa barang bukti berupa berbagai
macam senjata milik perusuh yang tertinggal di TKP dan; d. Melaksanakan olah
TKP dengan melibatkan pelaku kerusuhan.
Seharusnya hanya pihak-pihak
yang berkompeten yang boleh memberikan pernyataan tentang peristiwa Fayit ini,
mereka adalah yang terlibat langsung dalam kegiatan investigasi, karena
merekalah yang mendapatkan informasi secara lengkap dan holistis.
Tentunya berbeda halnya apabila
komentar atau pernyataan disampaikan oleh pihak-pihak lain yang tidak
berkompeten dan tidak mengetahui secara kengkap tentang peristiwa tersebut,
termasuk dalam hal ini pihak Gereja Katolik Keuskupan Agast yang pasti tidak mendapatkan
keterangan secara lengkap dari berbagai sumber sehingga melahirkan persepsi dan
pandangan yang tidak berimbang dan berpotensi mengandung unsur porvokatif.
Karena minimnya informasi dan
keterangan, maka pihak Gereja Keuskupan Agast telah mengeluarkan pernyataan
sikap yang mengandung unsur menghakimi, dengan seolah-olah menumpahkan seluruh
dosa dan kesalahan hanya tertuju sepenuhnya kepada institusi TNI, tampa melihat
faktor lain.
Pihak Gereja Keuskupan Agast
hanya melihat persoalan pada akhir kejadiannya saja, namun tidak memeriksa dan
mempelajari bagaimana proses kejadiannya sejak awal, siapa-siapa saja
pelakunya, bagaimana dampak kerusakan, siapa provokator atau pemicunya dan
lain-lain faktor pendukung lainnya.
Dalam pernyataan sikap
tersebut, pihak Gereja Keuskupan Agast menuding bahwa telah terjadi pelanggaran
HAM di Fayit Asmat yang dilakukan oleh TNI. Menyatakan suatu peristiwa
mengandung unsur pelanggaran HAM atau tidak, sama sekali bukanlah rana dan
kewenangan pihak Gereja, pengadilan lah yang paling berwewenang dan berkompeten
tentang hal tersebut. Saat ini proses hukum sedang berlangsung, tentunya butuh
waktu dan diharapkan semua pihak bersabar untuk menunggu hasilnya.
Anggota TNI yang melakukan
penembakan sedang menjalani pemeriksaan di Pomdam XVII/Cen dalam rangka proses
hukum, demikian pula Polda Papua akan segera melaksanakan proses hukum terhadap
pelaku kerusuhan terutama provokator yang menjadi pemicu terjadinya kerusuhan.
Dalam peroses hukum khususnya
terhadap oknum anggota TNI yang melakukan penembakan, tentunya pengadilan akan
menijau dan mempertimbangkan berbagai aspek dalam mengeluarkan keputusan hukum.
Diantaranya pengadilan dapat menerapkan Pasal 49 KUHP yang mengatur mengenai
perbuatan “pembelaan darurat” atau “pembelaan terpaksa” (noodweer) untuk diri
sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri
maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat.
Jadi semua pihak jangan terlalu mudah melontarkan tudingan apalagi kecaman
tampa dasar.
Demikian pula yang sedang
tersebar di media sosial (medsos) saat ini tentang catatan koraban penembakan
yang dilakukan oleh aparat TNI/Polri selama kurung waktu tahun 2019 yang
mengakibatkan jatuh korban sipil hingga 11 orang. Bahwa setiap bentrokan antara
aparat keamanan dengan warga sipil di Papua yang berujung pada jatuhnya
korban pasti diawali karena adanya sebab akibat.
Patut disayangkan bahwa warga
kita di Papua masuh terlalu mudah melakukan tindakan anarkis, melakukan penyerangan
dan pengrusakan dengan berbagai macam senjata, baik senjata tajam, senjata
pemukul, senjata pelempar atau pelontar senjata penikam dan lain-lain. Termasuk
dalam penyampaian aspirasi sering sekali diikuti dengan tindakan anarkis
sehingga aparat keamanan yang bertugas selalu dihadapkan pada pilihan sulit
antara menjadi korban sia-sia atau terpaksa menjatuhkan korban.
Di sisi lain terjadinya
serangkaian aksi kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak
bertanggung jawab, misalnya pembantaian terhadap warga dan penembakan terhadap
pesawat di Kenyam Nduga, pembantaian terhadap tukang ojek di Lanny Jaya,
pembantaian terhadap pemilik kios di Puncak Jaya, Pembantaian terhadap puluhan
orang karyawan PT. Istaka Karya di Yigi Nduga, penyanderaan dan pemerkosaan
terhadap guru-guru dan tenaga medis di Aroanop dan di Mapenduma, penyerangan
dan pengrusakan oleh perusuh di Fayit Asmat dan penyerangan terhadap aparat
keamanan di berbagai tempat yang mengakibatkan jatuh korban jiwa dan lain-lain
semuanya seolah-olah luput dari perhatian. Bahkan terkesan sengaja ditutupi
dengan pembentukan opini membeberkan berbagai kesalahan yang dilakukan oleh
aparat keamanan. Meskipun kesalahan-kesalahan tersebut hanya dipandang pada
hasil akhir setiap peristiwa tampa mau jujur membahas dan meneliti bagaimana
proses peristiwa tersebut terjadi.
Demi untuk menjamin kepastian
dan kewibawaan hukum diseluruh wilayah hukum NKRI maka hukum positif harus
ditegakkan. Misalnya penerapan UU Darurat Republik Indonesia No. 12 tahun 1951
tentang larangan membawa dan menggunakan senjata tajam, senjata pemukul,
senjata penikam dan lain-lain dengan tuntutan hukum hingga 20 tahun penjara.
Sebaiknya semua pihak mampu
menempatkan diri pada batasan, tataran, fungsi dan kewenangan masing-masing tampa
harus mencampuri dan melampaui batasan kewenangan pihak lain.
Kita semua tentunya berduka
cita dan berbelasungkawa atas kejadian di Fayit serta kejadian-kejadian lain
yang memakan korban. Atas nama seluruh Prajurit TNI di wilayah Kodam XVII/Cen
dan atas nama pelaku penembakan (Oknum anggota TNI) yang saat ini sedang
menjalani proses hukum, Pangdam Mayjen Yosua Pandit Sembiring telah
menyampaiakan rasa duka cita dan bela sungkawa yang sedalam-dalamnya atas
peristiwa yang memakan korban tersebut. Beliau juga telah menfasilitasi para
unsur penegak hukum dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Pangdam juga telah
berjanji akan menanggung segala biaya pengobatan terhadap korban luka tembak
a.n Jhon Tatae yang sekarang sedang dirawat di RS. Bhayangkara Jayapura,
termasuk biaya transportasi kembali ke kampung halamannya kelak bila sudah
sembuh.
Sebaiknya pihak Gereja sesuai
dengan fungsinya mengajak seluruh warga berdo’a agar korban diterima di
sisi Yang Maha Kuasa, dan agar peristiwa seperti ini tidak terulang lagi serta
seluruh pihak dapat saling memaafkan dan kembali merajut persatuan dan kesatuan
untuk bersama-sama membangun Bangsa dan Negara.