Publisistik : A.1.Red
Editor : Amsari/Redaksi
Sumut,Moltoday.com | Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejatisu) dituding inkonsistensi
dalam penanganan perkara penipuan tersangka Mujianto alias Anam. Pasalnya,
Kejatisu hendak menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) dari
kasus penipuan yang mereka nyatakan sendiri sudah lengkap alias P21. “Kasus
penipuan ini sudah lama P21. Yang menyatakan kasus ini P21 adalah Kejatisu
sendiri. Bahkan, perkaranya telah P22. Tiba-tiba Kejatisu hendak menerbitkan
SKP2, jelas sikap kejaksaan itu bentuk inkonsistensi,” tutur Direktur
Perjuangan Politik Hukum dan Ekonomi (PPHE) Jayamuddin Barus kepada wartawan,
Jumat (22/03/2019).[cut]
BACA JUGA : M.Azmi Hadly,SH,M.Hum : Kejatisu Inkonsisten SKP2 Kasus Mujianto
BACA JUGA : M.Azmi Hadly,SH,M.Hum : Kejatisu Inkonsisten SKP2 Kasus Mujianto
Sikap inkonsistensi Kejatisu itu, ujar Barus, pasti ada sebabnya.
“Sikap inkonsistensi Kejatisu itu disebabkan oleh sesuatu. Nah, sesuatu itulah
yang membuat Kejatisu inkonsistensi. Sesuatu itu juga yang membuat Kejatisu
hendak menerbitkan SKP2. Pengaruh sesuatu itu sangat besar hingga Kejatisu
enggan melimpahkan kasus penipuan Mujianto yang sudah P21 ke pengadilan,”
katanya.
Ketika ditanya apa bentuk sesuatu itu, Barus tidak merincinya. Ia
hanya meminta wartawan bertanya kepada Kejatisu soal sesuatu yang menghambat
pelimpahan kasus Mujianto ke pengadilan. “Yang tahu soal sesuatu itu, ya pihak
Kejatisu. Tanya pada mereka (Kejatisu-red). Saya tidak mau meraba-raba bentuk
dari sesuatu yang mempengaruhi Kejatisu dalam kasus Mujianto,” sebut aktivis
antikorupsi ini.
Bila tetap ngotot menerbitkan SKP2, ucap Barus, Kejatisu dinilai
telah mempermainkan Hukum Acara Pidana. Hal ini akan mencederai azas wibawa
hukum, azas kepastian hukum, azas keadilan dan azas kemanfaatan hukum. “Jika
tetap ngotot menerbitkan SKP2, Kejatisu nyata mencederai wibawa hukum,
kepastian, keadilan dan kemanfaatan. Dalam hukum acara, setiap perkara pidana
yang sudah P21 dan P22, hukumnya wajib dilimpahkan ke pengadilan. Tujuannya
untuk penegakan wibawa hukum, kepastian, keadilan dan kemanfaatan hukum,”
tegasnya.
Wibawa hukum, papar Barus, dalam kasus penipuan Mujianto ini
terkait[cut] dengan Moralitas, Profesionalitas dan Proporsionalitas institusi
penegak hukum, baik itu Poldasu, Kejatisu dan Pengadilan. “Poldasu telah
memenuhi permintaan dan petunjuk Kejatisu untuk melengkapi berkas perkara
penipuan Mujianto. Setelah dipenuhi, pihak Kejatisu pun menyatakan sudah
lengkap alias P21. Anehnya, setelah Poldasu menyerahkan tersangka dan barang
buktinya (P22), pihak Kejatisu malah hendak menerbitkan SKP2. Kinerja Poldasu
yang tunggang-langgang melengkapi hukum acara kasus pidana penipuan itu,
seakan-akan dinilai tidak ada arti. Wibawa hukum yang ditegakkan Poldasu nyaris
diabaikan lewat rencana penerbitan SKP2,” tukasnya.
Untuk mendapatkan kepastian, keadilan dan kemanfaatan hukum,
sebaiknya Kejatisu segera melimpahkan kasus pidana penipuan dengan tersangka
Mujianto yang sempat DPO dalam kasus ini. “Wibawa hukum, martabat hukum,
kepastian hukum, keadilan hukum dan kemanfaatan hukum itu, merupakan dari
proses penegakan hukum yang hanya didapat lewat pengadilan. Muara akhir
penegakan hukum itu adalah pengadilan,” katanya.