"Ya nangis, ya bilang sakit, ya berlumuran darah," jawab Tajab enteng.
"Kemudian, sampeyan nggak kasihan? Nggak sampeyan obati?" lanjut Palupi.
"Nggak," jawab Tajab.
Tajab mengaku, dia kesal karena si anak kerap keluar rumah. Begitu juga ketika diminta untuk mencari kayu. PW akan pulang menjelang sore. Bukan hanya itu, Tajab juga merasa malu ketika PW sering menunggu di tempat orang hajatan. Seolah tengah menantikan bingkisan hajatan.
"Pulang kerja, tani, capek lihat anak begitu. Saya marah. Dia juga sering, orang punya gawe ditungguin. Kan saya malu sebagai orang tua," katanya. Selama ini, Tajab mengaku tidak pernah menasehati anaknya dengan lembut, dengan duduk manis sambil saling bertukar cerita. Hanya cara kekerasan yang dia lakukan. "Kalau dia mulai nggak pulang, ya saya pukuli," katanya.
Ternyata, kebrutalan Tajab ini sudah menjadi rahasia umum di kampungnya. Warga kampung hingga perangkat desa dibuat gerah. Pernah hal ini dilaporkan ke perangkat desa. Kemudian diselesaikan dengan cara kekeluargaan.
"Tapi ternyata nggak berhenti. Akhirnya kerabat korban ini marah. Karena sudah ada kesepakatan kok si anak tetap dipukuli. Akhirnya mereka lapor kepada polisi," kata Kanit PPA Polres Malang Ipda Yulistiana Sri Iriana.***(Red)