Masyarakat adat Suku Baduy, selain terkenal dengan ritual dan gaya hidup mereka yang dekat dengan alam, ternyata menyimpan cerita menarik tentang tenun. Di Baduy, tenun bukan hanya sekedar kain, tapi juga identitas dan simbol status.
Untuk mendapatkan tenun Baduy, caranya hanya satu, yakni berkunjung ke kampung yang membuat tenun itu sendiri, yang terletak sejauh 120 km dari Jakarta. Kampung Cibeo adalah satu dari tiga kampung di Baduy Dalam (Baduy Kajeroan). Selain Cibeo, masih ada Kampung Cikartawana dan Kampung Cikeusik. Kampung-kampung di Baduy terletak di ketinggian 500-1.200 meter di atas permukaan laut dan berada di Pegunungan Kendeng yang merupakan daerah hulu Sungai Ciujung.
Desa Ciboleger, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, adalah terminal wisata Baduy yang dibuka pada 1992 dan tempat terakhir kendaraan diperbolehkan masuk.
Pintu masuk utama menuju Baduy Dalam adalah Desa Kanekes di Baduy Luar. Jalur Kampung Kadu Keter pun boleh dicoba karena jarak tempuh akan lebih cepat ke Kampung Cibeo. Mulailah perjalanan dari terminal terakhir, Ciboleger. Jalur ini akan melalui kampung Kadu Ketug, Babakan Balingbing, Babakan Marengo, Gazeboh, dan Cipaler, baru masuk Cibeo. Mengingat perjalanan cukup panjang, disarankan untuk beristirahat di kampung terdekat dengan perbatasan antara Baduy Luar dan Baduy Dalam, yaitu Babakan Balingbing, Marengo, atau Gajeboh. Jarak untuk sampai ke Gajeboh memakan waktu 1 jam 30 menit dengan perjalanan sangat santai.
Saya selalu memilih Kampung Balingbing sebagai tempat peristirahatan pertama. Selain hanya berjarak 45 menit dari terminal, salah satu warga di kampung ini, Kang Sarpin, memiliki rumah yang besar dan kamar mandi pluswater closet (oleh adat setempat, sebenarnya membangun kamar mandi dan WC ini terlarang!). Perjalanan menuju Cibeo dilanjutkan keesokan harinya.
Setelah menempuh lima jam perjalanan melewati jalan setapak melintasi bukit-bukit, sungai, dan beberapa perkampungan Baduy Luar, sampailah kita di Kampung Cibeo. Tanda pembatas memasuki Kampung Cibeo hanyalah rumbai yang diikatkan pada pohon besar. Memasuki kawasan tersebut berarti semua larangan adat diberlakukan, salah satunya larangan memotret.
Ada 90 rumah panggung atau suhunan beratap rumbia berdiri berjajar berhadap-hadapan dengan bentuk sama. Paku dan besi buatan pabrik pantang dipakai, semua suhunan hanya diikat dengan ijuk atau dipasak dengan bambu. Gelas dan ember pun terbuat dari bambu. Tidak ada piring di kampung ini. Masyarakat Baduy dalam hanya diperbolehkan menggunakan mangkuk.
Masyarakat Baduy, yang memiliki kepercayaan Sunda Wiwitan, ini dikenal berfilosofi sederhana, ”Pondok teu meunang disambung, nu lojor teu meunang dipotong” (yang pendek tak boleh disambung dan yang panjang tak boleh dipotong). Maknanya, orang Baduy pada dasarnya menerima alam sebagaimana adanya.
Masyarakat Baduy menjadi simbol kesederhanaan dan kejujuran. Bangunan rumah yang sangat sederhana, pakaian yang mereka kenakan, makanan yang mereka makan dan kebersamaan yang mereka bangun tidak lebih dari bentuk kesyukuran atas apa yang mereka terima dari Sang Kuasa.
Tidak ada televisi, tidak ada telepon (apalagi telepon seluler!), tidak ada internet, tidak ada alat-alat elektronik atau apa pun yang berbau kemodernan. Masyarakat Baduy Dalam hanya diperbolehkan menggunakan alat-alat rumah tangga yang sudah diatur oleh adat, di antaranya gelas untuk minum terbuat dari bambu, ember untuk mengangkut air—juga terbuat dari bamboo. Mereka memasak dengan tungku tradisional, dengan dandang dan kukusan, dan banyak lagi yang membedakan mereka dengan kehidupan modern.
Baju yang mereka kenakan tidak diproduksi pabrik, tetapi dijahit dengan tangan. Kain sebagai pengganti celana juga hasil tenun sendiri. Umumnya masyarakat Baduy Dalam seragam dalam berpakaian: mengenakan baju warna putih dan kain berwarna biru dengan ikat kepala putih (untuk laki-laki) dan gelang yang terbuat dari tali akar pohon sebagai tolak bala (penangkal musibah). Dan tidak satu pun di antara mereka yang menggunakan sandal sebagai alas kaki.
Bukan hanya apa yang mereka pakai yang diatur oleh adat, rambut hingga rumah mereka pun ditentukan. Rambut laki-laki masyarakat Baduy Dalam tidak boleh dipotong sembarang dan kepala mereka harus diikat kain khusus. Rumah mereka harus berdiri tegak sejajar tanpa jendela.
Mereka tidak memakan sembarang makanan. Padi yang mereka tanam harus padi organik (tanpa pupuk). Semua tanaman masyarakat Baduy tidak menggunakan pupuk. Binatang ternak yang boleh dimakan orang-orang Baduy hanya ayam. Dalam setiap upacara adat seperti pesta pernikahan, melahirkan, sunatan, hingga kematian, ayam menjadi sajian utama.
Kehidupan sehari-sehari masyarakat Baduy banyak dihabiskan di ladang, terutama oleh kaum perempuannya. Tapi tidak banyak yang mereka tanam. Hanya padi dan beberapa jenis pohon buah-buahan yang diperbolehkan oleh adat saja, salah satunya umbi-umbian dan buah durian.
Selain ke ladang, kaum laki-laki Baduy banyak menghabiskan waktu dengan membuat kerajinan seperti tas, gelang tolak bala, aksesori yang terbuat dari kulit kayu yang dirajut. Sebagian lagi pergi ke hutan mencari lebah untuk membuat madu atau membuat nira (gula merah). Jangan ditanya bagaimana rasanya madu Baduy dalam, dijamin cespleng!
Sumber : Syblikeren.Blogspot.com