Terungkapnya kasus Sri membuat gerah
Paguyuban Warga Sunda (PWS) yang merantau di Medan. Mereka merasa apa yang
dialami oleh Sri, ikut mereka alami. Untuk mengawal Sri, merekapun merapatkan
barisan dan turut datang ke Poldasu untuk mengetahui perkembangan kasus Sri.
Risna Rami Arifah selaku Ketua PWS didampingi advokat PWS, Amar Hanafi SH, mengaku kasihan membaca
pemberitaan Sri di WARTAWAN. Untuk itu, mereka langsung mencari keberadaan Sri
dan menghubungi pihak KPAID Sumut.
Setelah diberikan petunjuk oleh KPAID,
akhirnya mereka bertemu dengan Sri di Pemprovsu. Tujuan mereka mendampingi Sri
agar kasus ini selesai dengan baik dan polisi bekerja secara profesional. “Kami
takut kasus ini sama dengan kasus-kasus KDRT yang terjadi beberapa lalu di
Medan. Namun, belum lagi kami melakukan kordinasi dengan polisi, kami sudah
kecewa. Pemeriksaan Sri seperti ditutupi. Buktinya, saya dan advokat tidak
mengetahui seperti apa laporan yang diterima pihak Poldasu. Kami akan
mendampingi Sri hingga kasus ini tuntas," ucapnya di halaman gedung
Renakta Poldasu, kemarin (3/3).
Ketertutupan penyidik Renakta Poldasu
ternyata membuat kecurigaan mendalam bagi Amar Hanafi. Dia tidak terima dengan
sikap penyidik yang tidak melibatkan mereka ke rumah Handoko. Dia juga berang
dan menyuruhnya keluar ketika hendak mendampingi korban. Sembari mencak-mencak
di halaman Renakta, dia menjelaskan kalau kasus ini harus transparan karena
sudah diketahui publik. “Jangan ditutupi lagi, kami mau kepastian. Saya
Advokat, kenapa saya disuruh keluar?” hardiknya di gedung Renakta.
Karena tidak mendapat kepastian,
akhirnya dia masuk ke ruang penyidik. Namun, belum lagi dia duduk, seorang
penyidik melarangnya. Merasa tak dihargai, Amar berang. “Mengapa saya tidak
boleh masuk bu? Saya mau menemui korban?” ujarnya kepada penyidik.
Mendengar pertanyaan Amar dengan nada
tinggi, penyidik wanita yang mengenakan baju hitam tersebut menjawab. "Apa
urusan Bapak di sini? Yang berwenang itu kami, polisi. Bapak siapa rupanya?
Enggak ada urusan Bapak di sini," jawab penyidik di depan Amar dan
wartawan.
Tidak mau terjadi hal-hal yang tak
diinginkan, akhirnya Amar meninggalkan ruang penyidik. "Saya minta polisi
profesional dan jangan ada intimidasi kepada Sri," tegasnya sembari
berlalu bersama pengurus PWS lainnya. Amatan WARTAWAN, setelah terjadi
perdebatan, akhirnya pihak PWS meninggalkan Poldasu dan berjanji mengawal kasus
ini.
Diberitakan sebelumnya, menghilang dari Desa Lingga
Mukti, Kec. Sucina Raja, Kab. Garut, Jawa Barat sejak 2009 lalu, Sri ditemukan
jadi pembantu di kediaman Handoko. Itu terkuak setelah ayahnya, Rukman (43) dan
pamannya, Dadang (45) dapat informasi lewat SMS akhir Januari lalu. Isinya,
mengabarkan keberadaan Sri di Medan dan jadi pembantu.
Awalnya,
mereka sempat tak percaya. Apalagi, nomor si pengirim SMS tak pernah bisa
dihubungi lagi. Namun karena rindu setengah mati, Rukman nekat. Maklum, sudah
sejak 2009, putrinya tak ada kabar. Bermodalkan kepercayaan atas SMS itu, dia
mengumpulkan uang untuk modal berangkat ke alamat Sri seperti dalam pesan
singkat yang diterimanya.
Dia
akhirnya menemukan putrinya di Blok H no 6 Komplek Grand Polonia. Ditemani
personel TNI AU, rombongan KPAID dan WARTAWAN serta Dadang dan Rukman, akhirnya
bisa masuk ke komplek mewah itu. Benar saja, Sri akhirnya ditemukan di sana.
Suasana haru terlihat ketika Sri memeluk ayahnya sembari menangis.
Majikannya,
Handoko, terlihat sedikit takut kala itu. Berkali-kali dia menelpon seseorang
dengan Bahasa Tionghoa. Dia bahkan meminta agar rombongan KPAID menunggu
istrinya pulang. "Nanti ya Pak, tunggu istri saya. Karena dia yang lebih
tahu," ujarnya.
Kepada
WARTAWAN, Sri mengaku dibawa tetangganya Dedeh (25). Sri akhirnya dibawa Dedeh.
Dia tak sendiri. Ada 5 perempuan muda lain bersama, ikut dibawa Dedeh naik
pesawat ke Jakarta. Di sana mereka nginap di hotel.
“Satu
hari aja nginap di hotel. Besoknya dibawa ke bandara Soerkano-Hatta, terus naik
Sriwijaya Air ke Medan,” ujar cewek yang hanya tamatan SD itu. Tiba di Bandara
Polonia Medan, Sri sempat berontak begitu tahu dibawa ke Medan. Namun, dia akhirnya
takut. Karena Dedeh langsung pergi. Sementara, mereka dijemput perempuan
bernama Nuraida alias Butet.
“Ibu
Butet itu kejam. Saya takut. Kami dibawa naik mini bus ke ruko milik, di Jalan
Jamin Ginting. Itu aja yang saya ingat alamatnya,” bebernya. Tiba di sana,
sambung Sri, sudah ada juga perempuan muda yang ditaksirnya berusia 13-15
tahun. “Baru tiba di Medan dan dijemput dengan bus yang sama,” tambahnya.
Sri
menaksir, ada sekitar 20-an perempuan muda di ruko itu. Di sana, mereka didata
dan diajari jadi pembantu. Juga diimingi gaji besar dan diminta nurut atas
perintah majikan. “Kami disuruh nurut karena majikan kami katanya orang kaya
dan ngasih gaji besar. Kami juga sering dipukul kalau gak nurut perintahnya,”
tegas Sri.
Selang
seminggu, mereka pun dijemput calon majikan. Saat itu, Sri dijemput istri
Handoko, Fatimah (40). Pengakuan Sri, dia langsung disuruh mengepel dan
memandikan anjing serta mencuci piring serta pekerjaan rumah lain.
Sri
mengaku tidak pernah digaji selama bekerja di sana. Alasan majikannya, uang
tersebut masih disimpan dan akan diberikan kalau nanti pulang kampung. Namun
janji itu tak pernah terealisasi. Bahkan Sri sempat minta pulang kampung tapi
tak diizinkan keluarga majikannya.
Sri
juga melihat ada 3 pembantu lain yang masih muda alias dibawah umur, dari NTT.
“Pernah 3 tahun lalu, dipisahkan dari kawan-kawan dan disuruh tidur di garasi
mobil. Aku melawan dan sering dipukuli. Gara-gara itu aku dipisahkan sama
kawan-kawan,” jelasnya.
"Aku tersiksa kali Bang. Makannya
lama-lama dan sikit. Bahkan nasi basi pernah kumakan," ujar Sri menangis.
Mendengar penjelasan Sri, Handoko membantah semua. Dia mengaku gaji Sri telah
diberikan. "Udah aku kasih gajinya, ya kan Sri," ujar Handoko sambil
melotot, ketika rombongan KPAID masih berada di kediaman Handoko. "Aku
dijanjikan gaji Rp.600 ribu, tapi selama enam tahun tidak pernah dikasih,"
ujar Sri lagi sambil menangis. "Aku kangen sama Ibu, Pak aku mau pulang.
Ayo kita pulang Pak dari sini, di Medan orangnya beringas," ujar Sri
menangis.(mdn)